Journal of Exaudi - Chapter 19

Kelabu dan biru. Hanya itu warna jiwa yang dimiliki oleh Exaudi sekarang. Tak ada ubahnya seperti pria yang kehilangan setengah kehidupannya, sungguh menyedihkan. Tak ada sedikitpun rasa yang dirasakannya kini. Hatinya seperti telah mati dan kehilangan kemampuan untuk merasakan kebahagiaan. Ataupun rasa sayang. Semuanya hilang bagaikan dihembus angin danau kala itu, tenggelam bersama dengan daun-daun yang jatuh ke dalam kolam dan dimakan oleh ikan-ikan.
Manusia manapun pasti memilih mati dibandingkan memiliki perasan yang dimiliki oleh Exaudi sekarang. Mati dengan menceburkan diri ke danau ini. dengan meminum racun ataupun ditabrak oleh kereta sekalian. Mati sepertinya cara yang sangat tepat untuk mengakhiri sakit yang ada di jiwanya. Sakit yang entah mengapa masih tinggal walau waktu telah berjalan sekian.
Terbenak di hatinya mengapa Tiara tidak menembak mati saja dirinya ketika memberitahukan kebenaran yang membuat dirinya hidup rasa mati seperti ini. Dia yakin Tiara ingin membuat dirinya mati perlahan-lahan dengan mengenaskan sambil menertawai kebodohan serta penyesalan dirinya. Dia yakin bahwa sekarang Tiara dan Arman sedang menertawakan bagaimana sedihnya kehidupan yang sekarang ini dia rasakan.
Namun Exaudi tidak dapat berbuat apa-apa. Dia hanyalah pria biasa sama seperti lainnya. Pria yang dengan tulusnya memberikan segala cintanya, hatinya, dan kepercayaannya kepada orang yang salah. Dan dengan arogannya, cinta itu dipermainkan, digantungkan, diinjak-injak layaknya sebuah sampah yang tidak berharga sama sekali.
Harapannya untuk memiliki kehidupan yang lebih baik dan bahagia hancur sudah. Di dalam keputusasaan, Exaudi hanya bisa meratapi kemalangan yang dimiliknya dan tidak pernah berusaha bangkit dari keterpurukan yang melanda dirinya. Kini dia hanya bisa makan, tidur dan buang air. Terkadang-kadang jika dia bosan di rumah, dia akan pergi berjalan-jalan ke luar rumah untuk mencari angin segar dan kembali sore hari.
Baginya hal ini merupakan sesuatu hal yang biasa dan dianggapnya normal. Karena dia merasa perlu untuk menghirup udara segar dan menghilangkan kejenuhan yang ada di pikirannya. Namun berbeda dengan apa yang dipikirkan oleh orang-orang yang dilalui olehnya ketika berjalan melewati mereka. Orang-orang itu menganggap Exaudi adalah seseorang yang aneh, gila dan seperti kehilangan kewarasan.
Sebab seringkali dia berjalan-jalan seperti orang linglung tanpa tujuan dan kemudian di tengah jalan menepi hanya untuk menangis. Terkadang dia juga berjalan sambil tertawa sendiri, padahal tidak ada satupun kejadian yang lucu terjadi di sekitar dirinya. Terkadang dia juga mengamuk ataupun marah-marah jika melihat wanita yang memiliki perangai seperti Tiara.
Hal ini membuat ibunya khawatir dengan keadaan Exaudi sendiri. Berbagai doa sudah dipanjatkan di setiap sembahyang dengan harapan diberi petunjuk tentang kondisi anaknya itu. Ibunya juga membawa Exaudi ke psikolog untuk kembali menyehatkan kondisi mental anaknya yang sudah sangat buruk. Dan cara samping juga sudah dilakukan olehnya, dnegan membawa anaknya itu ke tempat orang pintar ilmu perdukunan.
Tindakan ini bukan tidak beralasan. Sudah seringkali anakya itu keluar rumah tanpa sepengetahuannya dan akhirnya membuat dirinya mencari anaknya itu di seluruh penjuru daerah tempat tinggalnya itu. Seringkali dia mendapati anaknya itu menangis tersedu-sedu seperti orang gila. Terkadang dia juga mendapati anaknya itu sedang disorak-soraki dengan sebutan ‘orang gila’ oleh anak-anak nakal yang sedang bermain di sekitar situ.
Hatinya tidak hanya teriris melihat kondisi anaknya seperti itu. Melainkan luluh lantak! Berkeping-keping dan tak terbentuk lagi. Wanita itu hanya bisa menitikkan air mata mendapati anaknya menjadi seperti itu. Namun dia tidak bisa melakukan apa-apa untuk anaknya itu. Dia hanya bisa menjauhkan anaknya dari kerumunan orang-orang yang menganggapnya gila.
Kegilaan anaknya itu bertambah seiring dengan berjalannya waktu, hari demi hari. Ada saja kelakuannya yang mencerminkan seperti orang gila dilakukan oleh anaknya di rumah maupun di luar rumah. Terkadang dirinya harus mengunci kamar anaknya itu dari luar untuk memastikan bahwa anaknya itu tidak akan kabur dari kamar dan melakukan kegilaannya itu.
Namun keputusannya itu ternyata membawa celaka bagi dirinya. Dia pikir bahwa dengan mengurung anaknya sendiri di dalam kamarnya karena kelakuan gilanya dapat membuat anak itu menjadi lebih baik. Ternyata tidak. Hal itu justru memperburuk keadaan. Anaknya justru ingin bunuh diri diperlakukan seperti itu. Dan entah sudah berapa kali anaknya itu ingin bunuh diri namun digagalkan oleh dirinya sendiri dan suaminya yang sama-sama bingung serta pasrah dengan apa yang terjadi kepada anaknya itu.
Di lain sisi, Dika juga merasakan hal yang sama. Kesedihan serta kekecewaan juga hinggap di dalam dirinya. Dia merasa telah gagal menjadi seorang ayah yang bertugas untuk menjaga anaknya. Terlebih lagi dia juga merasa kecewa dengan kenyataan yang juga menghantam sama kerasnya dengan apa yang dirasakan oleh Exaudi. Dia selama ini ternyata memiliki pemikiran yang salah.
Dia pikir bahwa Exaudi mencintai dirinya seperti dia mencintai Exaudi. Ternyata kenyataan pahit menghantam kalbunya. Dia selama ini tidak dianggap apa-apa oleh pria yang sudah ditidurinya itu. Dia selama ini hanya dijadikan sebagai alat untuk melampiaskan nafsu anaknya itu dan dengan bodohnya dia tetap mau untuk melakukan hal itu.
Dia mengetahui hal ini setelah istrinya menceritakan hal tersebut kepada dirinya ketika memberitahukan bahwa Tiara akan menikah dengan Arman. Istrinya itu menjelaskan secara jelas bahwa Exaudi pernah ingin menjadikan Tiara sebagai istrinya setelah Exaudi menyatakan perasaannya itu kepada Tiara. Namun hal itu ditolak oleh Tiara yang secara terang-terangan mengaku bahwa dirinya sedang hamil dan dihamili oleh Arman.
Istrinya itu lantas menyuruh dirinya untuk menghadiri pernikahan mereka sebagai perwakilan keluarga mereka. Karena mengingat keadaan Exaudi yang seperti ini sangatlah tidak mungkin untuk mereka berdua untuk pergi kesana bersamaan. Dan dengan berat hati dia harus menyetujui permintaan itu. Karena di hatinya tak pernah terbersit sama sekali keinginan untuk berhubungan dengan mereka berdua yang sudah membuat Exaudi demikian.
Di hari dan tempat yang sudah ditentukan, Dika akhirnya mempersiapkan dirinya untuk menghadiri pernikahan Tiara dan Arman. Dengan berpakaian rapi, dia melangkahkan kakinya menuju tempat resepsi setelah dia berpamitan kepada istrinya. Di hatinya, dia hanya ingin menjalankan tugasnya itu dan segera balik setelah memberikan selamat kepada mereka, tidak lebih dan juga tidak kurang.
Namun hal itu berubah ketika Dika melihat betapa bahagianya Tiara dan Arman yang sedang duduk di bangku pelaminan itu. Mereka tertawa dan tersenyum lebar seperti orang yang tidak bersalah dan tidak pernah melakukan apapun. Mereka pikir bahwa semua masalah akan baik-baik dengan memelas minta maaf dan bersujud di kaki orang. Mereka pikir bahwa semuanya baik-baik saja setelah apa yang mereka lakukan kepada Exaudi dan menganggap semuanya sudah berdamai. Tidak! Tidak semudah itu cara hidup di dunia ini.
Dengan segala keberanian yang dimilikinya, Dika berusaha agar dapat berbicara dari hati ke hati bersama dengan keduanya. Dia ingin memberitahukan kenyataan yang mungkin mereka tidak tau atau pura-pura tidak peduli dengan yang terjadi. Sehingga setidaknya dia dapat melampiaskan perasaannya yang sekarang ini sedang terusik luar biasa dengan suasana bahagia pernikahan ini.
“Ada hal penting apa paman memanggil kami seperti ini?” ucap Arman yang sepertinya tidak suka dengan ajakan Dika.
“Benar paman. Lebih baik paman langsung saja berucap ke intinya dengan sejelas-jelasnya, sebab tamu begitu banyak menunggu kami di depan sana” lanjut Tiara yang dengan sangat menawan menggunakan baju adat.
“Apakah kalian sadar mengapa aku hanya datang sendirian ke pesta kalian?” tanya Dika kepada mereka berdua.
Untuk sesaat mereka kemudian menyadari apa yang diucapkan oleh Dika. Mereka baru menyadari bahwa Dika datang seorang diri tanpa kehadiran Exaudi dan juga Ibunya.
“Apakah bibi juga ikut marah kepada kami? Bukankah dia mengatakan akan datang ke pesta kami?” ucap Tiara bingung.
“Tidak. Bibimu tidak marah kepadamu Tiara ataupun Arman. Dia sangat memberkati pernikahan kalian berdua dan anak yang sekarang berada di kandunganmu. Dia berpesan agar kau tetap menjaga kesehatanmu sampai bayi itu lahir. Hanya saja dia memang tidak bisa hadir ke pernikahan kalian” ucap Dika dengan lemah.
“Apakah bibi sedang sakit sekarang? Apakah dia terlalu memikirkan kami sampai sebegitunya?” tanya Tiara dengan nada yang ingin tahu. Dika dapat melihat wajah bersalah di mukanya dan wajah bertanya-tanya di muka Arman. Dan Dika pikir, ini adalah saat yang tepat untuk memberitahu mereka.
“Tidak. Bibimu tidak sedang sakit. Dia sedang menjaga Exaudi di rumah kami” ucap Dika.
“Apakah Exaudi sedang sakit? Apakah dia masih marah kepada kami berdua?” tanya Tiara dengan nada yang serius.
“Ya. Dia sedang sakit. Hatinya yang masih mencintaimu itu sedang sakit Tiara. Dan bukan hanya hatinya, namun jiwanya juga kini sedang sakit dan terganggu. Sedikit demi sedikit kewarasannya sudah menghilang karena kejadian itu” ucap Dika dengan tegas.
Dika dapat melihat perubahan raut wajah mereka berdua. Mereka seolah tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Dika barusan. Terlebih Arman yang sedang berpikir bahwa Dika sedang melebih-lebihkan keadaan yang dialami oleh Exaudi sekarang. Arman masih berpikir bahwa Exaudi adalah orang yang kuat hatinya dan bisa mengatasi segala keadaan yang ada. Namun Arman seolah lupa, bahwa Exaudi dapat seperti itu karena kehadirannya dulu. Dan sekarang, Exaudi harus menghadapinya sendiri dan ditambah lagi bahwa dialah sumber masalahnya. Sungguh bodoh memang Arman ini!
“Jangan bercanda paman. Aku tau bahwa paman melebih-lebihkan keadaan kan?” tanya Arman dengan tawa sinis.
“Oh begitukah pemikiranmu? Sungguh ironi Exaudi memiliki teman seperti dirimu. Kau pikir untuk apa aku mendatangi pernikahanmu yang tidak penting ini? Asal kau tau saja, jika kalau tidak karena keadaan dan permintaan istriku, aku tak sudi untuk menginjakkan kaki disini” tegas Dika sambil tersenyum sinis kemudian.
Di lain pihak, Tiara sudah menitikkan air mata. Tiara masihlah seorang wanita yang memiliki hati yang lembut dan menyayangi sahabatnya itu. Di lubuk hatinya, tak ada sama sekali niatan untuk membuat Exaudi menjadi demikian seperti yang diucapkan oleh Dika. Dan ingin rasanya dia meninggalkan acara pernikahannya ini untuk melihat sendiri dengan mata kepalanya bagaimana keadaan Exaudi sekarang.
“Paman. Jika benar yang terjadi demikian, apa yang harus kami lakukan untuk menebus kesalahan kami ini? Kumohon maafkanlah kami paman” ucap Tiara sambil berlutut dan menangis tersedu-sedu.
Arman hanya bisa kaget melihat perlakuan istrinya itu kepada lelaki yang sangat dia tidak suka ini. Namun dia tidak dapat menghentikan perbuatan istrinya itu dan hanya bisa memandangi dengan penuh prihatin. Dan di hati Dika, dia menyadari bahwa memang benar Tiara tidak memiliki kehendak untuk melakukan hal yang demikian kepada anaknya itu. Dan sepertinya keadaanlah yang membuat dirinya seperti ini.
“Oh anakku. Berdirilah, tidak perlu kau bertelut seperti itu meminta maaf kepadaku. Aku sudah memaafkanmu sebelum aku menghadiri pestamu ini. Namun aku hanya meminta satu hal saja padamu dan juga suamimu ini. Kumohon kalian tidak usah lagi datang ke dalam kehidupan Exaudi. Aku ingin dia melupakan rasa sakitnya dan memulai untuk membuka lembaran baru untuk masa depannya. Maukah kalian melakukan hal itu?” tanya Dika kepada mereka.
“Lantas. Bagaimana kami dapat meminta maaf kepadanya jika kami tidak dapat bertemu dengannya?” tanya Arman.
“Hal itu tidak perlu. Aku akan menyampaikan hal itu kepadanya. Lagipula, buat apa kita bertemu dengan ular jika ular tersebut nantinya akan mematuk kita. Lebih baik tidak usah bertemu sekalian” ucap Dika berkias.
Arman merasa dirinya sedang disindir oleh Dika. Namun dia tidak dapat menyangkal segala ucapan serta kiasan yang diucapkan oleh Dika tersebut. lagipula, Dika mengatakan hal yang benar dan sesuai dengan keadaan, jadi tidak ada alasan untuk dirinya untuk emosi atas ucapan pria yang sudah mulai berumur itu.
“Baiklah. Aku akan pulang saja karena ini sudah agak larut. Sekali lagi selamat kuucapkan untuk kalian berdua dan semoga menjalani hidup baru dengan sejahtera. Serta semoga anak kalian sehat selalu dan memberikan rezeki yang melimpah kepada kalian” ucap Dika sebelum berlalu meninggalkan Arman dan Tiara yang sekarang merasa bersalah atas apa yang sudah mereka lakukan. Dan suasana pernikahan itu akhirnya berubah menjadi murung dan tidak segembira sebelum Dika mengatakan kenyataan pahit itu.
Dika kemudian kembali ke rumahnya uintuk membantu menjaga anaknya itu. Berbagai keanehan yang dilakukan anaknya itu membuat Dika juga ikutan bersedih atas keadaannya kini. Tak pernah terbayang bahwa lelaki yang dicintainya itu, yang juga anak tirinya itu menjadi seperti ini. Menjadi seorang yang gila karena cintanya yang tidak kesampaian.
Jika saja Dika sama seperti Exaudi. Mungkin sekarang Dika akan dirawat di rumah sakit jiwa bersama dengan pasien yang memiliki gangguan mental lainnya. Namun Dika sudah cukup tua untuk menjaga serta mengatur perasaannya itu. Dia memang bersedih akan kenyataan yang terjadi, namun dia tidak membawanya berlarut-larut. Dan dengan segala upaya, dia mencoba untuk mengobati perasaannya sendiri.
Dan malam ini. Dia berniat untuk tidur sekasur dengan anaknya itu. Sudah sekian lama dia tidak memeluk anaknya itu karena tingkah gila nan tak waras yang dilakukan anaknya itu. Kelakuannya itu membuat Dika juga was-was serta prihatin dengan kondisi dari Exaudi sendiri. Yang bisa dia lakukan adalah selalu waspada bilamana hal buruk akan dilakukan oleh Exaudi nantinya.
“Selamat malam nak. Ayah boleh masuk?” tanya Dika di pintu kamar Exaudi. Dia dapat melihat anaknya sedang terduduk melamun sambil melihat keluar jendela kamarnya. Setelah dia bertanya, anaknya itu kemudian menoleh kepadanya dan melihatnya dengan tatapan kosong. Dari tatapannya itu, Dika dapat melihat bahwa hati anaknya memang benar-benar hancur dan terluka karena kejadian itu.
Dika kemudian berjalan perlahan-lahan sambil mendekati Exaudi. Dia berjalan menuju kasur yang diduduki oleh Exaudi dan kemudian duduk di sampingnya. Dari samping, terlihat olehnya raut wajah sedih nan sendu yang dipancarkan oleh Exaudi. Pertanda bahwa dia sedang bersedih karena hatinya telah patah. Walau demikian, ketampanannya masih melekat seperti dulu kala, tak pernah berubah.
Tulang pipi serta rahangnya masih terlihat keras. Kulitnya masih putih serta bibirnya juga masih ranum. Gejolak dari dalam membuat Dika tidak memiliki pilihan lain selain mencium pipi pria yang dicintainya itu. Dengan penuh rasa sayang, Dika lantas mencium lembut pipi Exaudi dengan waktu yang agak lama. Setelah itu, dia memandangi wajah anaknya itu yang kini telah memandanginya dengan tatapan bingung.
Dika sudah diburu oleh nafsu yang tak tertahan memandangi wajah itu seperti serigala yang ingin menerkan mangsanya. Pandangan itu membuat dirinya semakin bernafsu terhadap anaknya itu, pandangan seperti lelaki yang baru pertama dicium oleh lelaki lain. Dan hal selanjutnya yang diincar olehnya adalah bibir itu, bibir yang sepeti buah ceri nan ranum yang sangat siap untuk dihisap olehnya.
Bibir itu dihisap kuat-kuat oleh dirinya sebagai pertanda kerinduan hatinya yang selama ini merindukan tubuh lelaki itu. Hisapan itu kemudian turun ke leher, lalu ke dadanya. Dika kemudian menghisap keras pentil yang berwarna terang itu kuat-kuat, dengan harapan bahwa Exaudi akan merasakan kenikmatan yang mendalam. Dan ternyata benar, hisapannya itu memberikan kenikmatan yang luar biasa untuk Exaudi. Terbukti dengan Exaudi yang kini tengah bergelinjang nikmat atas perlakuan Dika tersebut.
Hisapan itu kemudian turun ke perut, dan berakhir di kemaluan Exaudi. Kemaluan yang panjang dan berurat, tegak kokoh dan diselimuti oleh bulu-bulu hitam itu dihisap kuat oleh Dika. Dan Exaudi semakin menggila, dia mengerang keenakan dan mulai menggerakkan kepala Dika dengan bantuan tangannya. Exaudi juga mulai memaju mundurkan pinggulnya yang sekarang telah aktif  bergerak-gerak.
Rasa nikmat yang dirasakan Exaudi semakin bertambah ketika Dika mulai memasukkan kemaluannya itu ke belakang Exaudi. Kemaluan yang panjang dan keras itu seperti menyentuh satu titik yang membuat dirinya keenakan. Exaudi kemudian berusaha untuk menggenjot kemaluan itu dengan kencang dari atas tubuh Dika. Rasa nikmat itu semakin bertambah sampai ujungnya mereka melepaskan cairan cinta mereka yang kental. Dan malam itu diakhiri dengan kecupan hangat keduanya.
Dika berpikir bahwa Exaudi akan kembali bertingkah sepeti semula setelah mereka melakukan hal itu kemarin, sebab dipikirannya tidak ada hal yang paling menyenangkan untuk melupakan masalah selain dengan melakukan seks. Namun pikirannya itu terpatahkan ketika dia menemukan Exaudi masih seperti sebelumnya bahkan setelah seks luar biasa yang mereka lakukan kemarin malam.
“Hei. Kenapa kau masih melamun seperti ini? Maukah kau menceritakan segalanya kepadaku?” tanya Dika yang bertelanjang bulut sambil memeluk Exaudi yang sedang duduk membelakanginya di tempat tidur.
“Pergilah! Berhenti berpura-pura, aku ini bukan anak kandungmu. Dan kau bukanlah bapak yang bisa mengatur-atur hidupku. Kau hanyalah seorang bajingan incest” ucap Exaudi.
Kuping Dika tiba-tiba memanas mendengar hal yang diucapkan oleh Exaudi barusan. Di pagi-pagi seperti ini, lelaki ini sudah menabuh genderang perang dan membuatnya jengkel setengah mati. Terutama ucapannya yang mengatakan bahwa dirinya hanyalah berpura-pura dan tidak dapat mengatur hidup lelaki itu.
“Baiklah. Aku akan menunjukkan siapa yang sebenarnya mengatur hidupmu. Sekarang, pakai bajumu!” ucap Dika sambil menarik lengan lelaki itu dan memaksanya memakai bajunya. Setelah lelaki dipakaikan baju olehnya, lantas diapun memakai bajunya juga. Dia menggunakan bajunya yang sudah kusut dan menarik anaknya itu masuk ke dalam mobilnya.
“Mau kemana kita?” tanya Exaudi kepada Dika setelah dia sudah masuk kedalam mobil tersebut.
“Menunjukkan kepadamu siapa yang berhak mengatur hidupmu!” tegas Dika. Dika lalu melajukan mobilnya dengan kencang. Di dalam hatinya dia ingin menunjukkan siapa dirinya sebenarnya kepada Exaudi, dan menyadarkan jika dia sudah lupa.
Mobil itu kemudian masuk ke daerah yang tertutupi banyak pohon dan juga kebun. Sepertinya Exaudi pernah ke tempat ini, namun dia lupa kapan. Ingatannya hanya samar-samar, dia tidak mengingat jelas tempat ini. Namun dia sangat yakin bahwa dia pernah ke tempat ini sebelumya bersama dengan orang terdekatnya.
“Ayo turun!” ucap Dika sambil membuka pintu seakan memaksa Exaudi yang sekarang ini sedang terdiam kaku.
“Turun kataku!” teriak Dika yang akhirnya langsung dituruti oleh Exaudi yang langsung turun dari mobilnya.
“Ayo akan aku tunjukkan padamu siapa yang berkuasa!” tegas Dika kepada Exaudi yang sekarang ini seperti orang linglung. Dika menarik tangan Exaudi dan mengarahkannya ke sebuah tempat dibalik pepohonan yang rindang dan sepertinya tertata rapi. Dika menarik lelaki itu keatas bukit yang sudah ditumbuhi berbagai bunga dan pohon. Lalu mereka berhenti di sebuah gundukan tanah dengan batu nisan. Dika lantas langsung mendorong Exaudi sampai terjerembab ke tanah.
“Lihat ini! Ini orang yang dapat mengatur hidupmu! Orang ini sudah mati! Kau mengerti?! Jika kau ingin diatur dan diarahkan, tanya saja kepada mayat yang terkubur disini!” teriak Dika kepada Exaudi.
Exaudi hanya bisa terdiam. Matanya kemudian berkaca-kaca melihat wajah Dika. Mata itu akhirnya meneteskan air mata yang jatuh ke pipinya. Dengan tersedu-sedu, kemudian Exaudi memeluk nisan kuburan itu. Dia hanya bisa terseok-seok sambil menangis sejadi-jadinya di kuburan itu.
“Bapak. . .” ucap Exaudi dengan lemas. “Pak, perasaan udi sakit pak. Udi dikhianati orang yang udi cintai, udi dikhianati mereka berdua. Dan Udi gabisa apa-apa, pak” ucap Exaudi sambil tersedu-sedu.
Mata Dika kemudian ikut-ikutan berair setelah melihat Exaudi seperti ini. Tidak ada niatan hatinya untuk membuat Exaudi demikian namun ternyata cara ini ternyata cukup berhasil untuk menenangkan Exaudi dan mengembalikan kewarasannya. Hari itu, Dika menemani Exaudi yang menceritakan segalanya kepada nisan bapaknya itu sambil sesekali menangis tersedu-sedu.
Dika akhirnya menyadari bahwa apa yang sebenarnya dirasakan oleh Exaudi lebih daripada apa yang dibayangkan olehnya. Dan dia juga belajar satu hal atas kejadian itu, menyembuhkan hati yang terluka bukanlah pekerjaan gampang. Kau harus berusaha untuk melepaskan apa yang membuatmu terluka dan mencoba untuk meluapkan rasa sakit yang dibuat oleh luka itu. Dan yang kau butuhkan adalah teman yang dapat kau percaya untuk meluapkan segala, dan dalam hal ini Exaudi mempercayai bapaknya yang sudah mati ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aditya, Anak Magang - Ch.18 | Dia Kembali

Aditya, Anak Magang - Ch.21 | Le Finale [Tamat]

Aditya, Anak Magang - Ch.20 | One Moment in Time